Apakah SCBD adalah Subkultur?
bisa sih, tapi…. (UPDATE: keknya mustahil.)
Citayam Fashion Week atau SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) saat ini sedang jadi trending di semua media sosial. Banyak pro-kontra mengenai fenomena ini: yang pro jelas mendukung kreativitas fashion anak muda, yang kontra mempermasalahkan sampah, macet, mandi, dll. Aku sendiri nggak ada masalah dengan anak-anak SCBD ini, tapi aku menulis ini karena beberapa penulis menganggap SCBD adalah subkultur.
Eh, gimana?
SCBD adalah subkultur. SCBD sebaiknya menjadi subkultur. Kurang lebih begitu. Sayangnya, aku kurang setuju menyebut kerumunan berpakaian aneh-bin-ajaib ini sebagai subkultur. Wacana “SCBD adalah subkultur” ini juga dipicu oleh twit dari Tokyo Fashion, yang kurang lebih bilang “masih mending SCBD daripada Harajuku”. Seolah-olah SCBD bisa setara dengan Harajuku yang fashion-nya sudah dikenal secara global.
Bisa, memang bisa, tapi…
Respon pertamaku saat melihat SCBD itu biasa saja. Nggak mengejek, tapi ya nggak merasa keren juga. Fashion mereka memang keren, trendy, tapi belum ada ciri khas. Belum ada dekonstruksi ala-ala punk dan Harajuku, etnik dan boho ala hipster, item-item ala gotik, sporty dan eksperimental ala hypebeast, dan semacamnya. Sorry to say kalo aku bilang sebagian besar fashion mereka lebih mendekati baju-baju “Korea” yang bisa dibeli di Shopee. Maksudku, coba kalian tulis “baju Korea” di kolom pencarian toko oren itu, dan ribuan barang akan berjejeran. Istilah “Korea” ini juga nggak jelas; kayaknya merujuk ke baju-baju yang suka dipake sama girlband/boyband dan aktris drama Korea, tapi ya sebenernya made in China/Indonesia juga. Ya mau thrifting atau produk asli UMKM sebenernya nggak masalah. Tapi ya coba kalian datang ke mall manapun di kota besar, ya kurang-lebih fashionnya akan seperti anak-anak SCBD ini. Kasarnya, SCBD style itu kayak gaya anak mall. Tampang mereka yang merakyatlah yang bikin SCBD ini “gaya yang distinctive” dari jamet. Well, let’s say they are the toned-down jamets.
Lalu yang kedua adalah ide. Boro-boro ciri khas fashion, aku juga gagal menemukan ide besar dari mereka. Ide besar ini nggak harus soal melawan sistem, intinya bahwa orang-orang di situ nongkrong dengan alasan yang hampir sama. Kenapa mereka memilih jauh-jauh nongkrong di kawasan SCBD? Kenapa mereka pakai baju seperti itu? Ya alasannya paling tidak akan jauh-jauh dari “cuma sekadar main dan nongkrong aja”, “diajak teman”, “bikin konten”, atau “suka-suka gue”. Intinya, semua alasannya bersifat pribadi. Padahal, subkultur itu bisa bertahan jika ada rasa berkomunitas di antara mereka. Ya nggak harus bikin organisasi resmi juga, tapi perlu ada pentolan yang bukan cuma memikirkan diri sendiri, tapi juga teman-teman sesama anak SCBD. Nggak cuma ngadain fashion show di zebra cross, tapi juga aktivitas lain kayak bikin challenge atau event kecil. Hal ini juga tidak bisa terjadi hanya dalam waktu 1–2 bulan. Nah, apakah Jeje, Bonge, Kurma, Roy dll sudah memikirkan hal ini? Apakah mereka sudah berjejaring dengan baik? (UPDATE: Ada kabar burung yang menyebutkan Bonge dikasih uang Rp 500 juta dari Baim Wong. Sudah ada wacana kalau anak SCBD ini akan pindah nongkrong ke kawasan PIK. Mereka kan punya banyak pengikut, kenapa tidak buat gerakan? Buatku ini sikap yang sangat nggak subkultur.)
Penamaan SCBD, untuk beberapa orang, ternyata juga cukup bermasalah. Ternyata banyak anak-anak yang nongkrong di kawasan SCBD yang bukan dari Citayam. Ada sebuah berita yang menyebutkan (sori link-nya hilang, ntar kucari lagi) bahwa ternyata ada anak Jakarta Barat juga yang suka nongkrong di situ. Memakai istilah SCBD atau Citayam Fashion Week menurutnya kurang representatif buat mereka. Berarti bisa dibilang SCBD ini bukan cuma punya anak pinggiran Jakarta, tapi juga diikuti oleh orang dari kalangan yang lebih luas lagi. Para artis dan pejabat pun juga ikut di sini. Kalo diingat-ingat, yang bikin istilah SCBD juga warganet, kan, bukan pelaku aslinya? Ya begitulah.
Kemudian soal konsistensi dan devotion. Subkultur bisa bertahan kalau orang-orangnya mau konsisten mengembangkan kelompok ini. Makanya nggak usah kaget kalau ada bapak-bapak yang demen punk sampai beranak dua. Masalahnya, tren di Indonesia ini sifatnya anget-anget tai ayam. Kalo udah nggak trending, nggak FYP lagi, tinggal. Fenomena wota dan masuknya JKT48 di arus utama ini hype banget di tahun 2011-an. Tapi sekitar 5 tahun kemudian, wota pada lepas satu-satu. JKT48 sekarang bertahan dengan pontang-panting. Memang fansnya masih ada, tapi sudah tidak sekuat saat idol group ini baru muncul dan stabil secara lemah. Lantas bagaimana dengan SCBD? Apakah Jeje Bonge dkk akan tetap setia menongkrong dengan gaya di SCBD dan mempromosikannya sampai, katakanlah, 3–4 tahun kemudian? Tidak tahu. Makanya wajar kalau warganet juga bilang “bentar lagi nggak viral juga orang pada lupa”. Anak-anak SCBD masih di masa pencarian jati diri dan konten mereka masih tergantung pada momen viral. Kalaupun dipuji oleh Tokyo Fashion, aku anggap mereka memuji aktivitasnya, bukan mengakui eksistensinya sebagai subkultur.
Oke, dari keempat alasan di atas, apa yang bisa kita lakukan untuk anak-anak SCBD? Ada dua dan sederhana sekali: biarin aja dan beri mereka waktu.
Biarkan saja mereka beraktivitas di situ: nongkrong dan berkreasi dengan fashion mereka. Biarkan mereka membuat gerakan suatu hari nanti. Pemerintah bisa intervensi, tapi ya tipis-tipis aja, misalnya terkait lalu-lintas dan kebersihan. Kalo perlu diikutkan dalam program pemerintah sekalian, kayak Cool Japan, dan jangan sampai ada “pokoknya kalian harus bilang gini ya kalau ditanya sama bule” semacam itu. Artis dan pemain besar silakan berkolaborasi, tapi jangan kejauhan. Silakan kasih modal, tapi nggak usah pasang nama, dan berikan di kesempatan yang baik.
Terakhir dan yang paling penting adalah: beri mereka waktu. Sebenarnya ini alasan utama aku nggak setuju SCBD bisa dianggap sebagai subkultur. Mereka baru terekognisi dalam beberapa bulan di dunia maya, dan apapun yang terjadi di dunia maya berubah dengan sangat cepat. Misalnya musik dan estetika vaporwave, yang pada akhirnya cuma jadi microgenre karena cuma bertahan 2–3 tahunan. Nah ini SCBD yang udah kemasukan artis dan pejabat aja udah memancing pro-kontra. Lalu coba lihat mereka sampai akhir tahun, apakah SCBD akan selalu ramai? Atau cuma ramai gara-gara liburan sekolah? Kalo Roy Kurma dkk akan “lulus” dari situ, apakah SCBD masih bertahan? Semua pertanyaan ini jawabannya adalah: nggak tahu. SCBD ini sangat dinamis. Kalau mereka bisa bertahan sampai 3–4 tahun kedepan, mari kita sambut sebagai subkultur. Tapi kalau ternyata nggak, ya kita anggap aja fenomena yang sangat Indonesia, kayak odading Mang Oleh. (UPDATE: pikiran buruk saya mulai terjadi.)
Atau kita sebut saja mikrosubkultur? Ahahaha.
Begitulah, pokoknya biarkan dan lihat saja. Ya semoga saja SCBD ini bisa berkembang ke arah yang lebih baik. SCBD potensial untuk jadi subkultur, tapi untuk sekarang, SCBD belum subkultur. Mereka memang sudah punya gaya sendiri, cara berjejaring sendiri, gaya musik sendiri, you named it. Tapi selama ide besar mereka belum ada, SCBD cuma akan jadi fenomena viral, yang orang bentar lagi juga lupa, dan hal ini sangat Indonesia.
Satu hal yang bisa aku lihat dari fenomena SCBD adalah betapa pandangan sebagian besar orang Indonesia sangat ibukota-sentris. Kita langsung merasa wow dengan orang-orang berwajah merakyat yang datang ke ibukota dengan baju yang keren. Kita terlalu lama percaya bahwa Jakarta, apalagi kawasan SCBD, adalah miliknya orang yang kaya dan bergaya kaya asal muka masih kayak orang kaya. Kita lupa kalau orang pinggiran bisa glowing kayak Jeje. Sudah terlalu lama kita berpikir begini, dan buatku itu miris, sih.
UPDATE: Citayam Fashion Week resmi didaftarkan ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) oleh perusahaan milik Baim Wong dan Paula Verhoeven. Pendek kata, Citayam Fashion Week sudah “dibeli” oleh artis kaya-raya. Media KutipanX juga sudah mendaftarkan ke PDKI. Kalo udah begini, apakah SCBD masih bisa jadi subkultur? Sayangnya, pintu sudah mulai ditutup. Pentolan anak SCBD harusnya udah bikin gerakan, tapi ya… ke mana mereka? Yang ada mereka mau pindah ke PIK, dan itupun warganet sebagian besar kurang setuju karena aksesnya lebih ruwet ke sana dan secara sosial kurang cocok buat mereka. Makanya sekali lagi aku menegaskan kalau SCBD belum bisa disebut subkultur. Kenapa? Ya karena bisa ada ini, dan ini lagi-lagi nggak bisa diprediksi.
Sebenarnya artis pengusaha besar, selain kasih modal, juga bisa ikut dengan cara yang lebih elegan: bikin brand dengan target pemasaran atau “terinspirasi dari” anak-anak SCBD. Misalnya Vivienne Westwood dari subkultur punk, itupun desainer-nya juga tidak meng-”klaim” punk. Atau brand-brand ala Harajuku (atau style turunannya kayak lolita, gyaru, dll) kayak ACDC Rag, Baby The Stars Shine Bright, Liz Lisa, dll (yang produknya udah menguasai thrift shop online Indonesia). Intinya, jangan ganggu aktivitas dan pergerakannya, cukup fasilitasi saja.
Aktivitas Citayam Fashion Week juga lebih cocok kalau disandingkan dengan Jalan Hongdae daripada kawasan Harajuku. Jalan Hongdae dikenal selain jadi tempat nongkrong remaja modis, juga karena banyak orang jualan barang unik dan produk kreatif di situ. Kayak Sunmor UGM, lah. Tapi Hongdae bukan subkultur, ya. Banyak orang keren di situ, tapi tidak ada omongan “Hongdae adalah subkultur”. Apakah SCBD bisa aktif dan bertahan kayak Sunmor UGM? Kalian udah tahu jawabannya: nggak tahu.