Opini Acak Tentang Pop Malaysia

Florentina Krisanti
6 min readApr 11, 2024

Selamat hari raya Idul Fitri 1445 H!

Belakangan ini, beberapa lagu pop Malaysia banyak muncul di konten-konten medsos Indonesia. Lagu “Ketipak Ketipung Raya” karya Aisha Retno dengan Aziz Harun banyak dipakai di konten lebaran, disusul “Alamak Raya Lagi” karya Dem Fam. Sebelumnya lagu-lagu Upin Ipin tentang lebaran juga sering dipakai, seperti “Balik Kampung” dan “Suasana Hari Raya”.

Aku pribadi nggak terlalu mengikuti pop Malaysia dan nggak punya musisi Melayu favorit. Meski demikian, ada beberapa hal yang menurutku cukup menarik soal musik pop Malaysia. Selain tren lagu lebaran, ada beberapa topik di medsos tentang musik Malaysia yang lumayan jadi pembicaraan warganet Indonesia, seperti rencana Aki-P membuat sister group baru dari Keluarga 48 di Malaysia: KLP48.

Ketika rencana KLP48 diumumkan, warganet Indonesia menanggapinya dengan lelucon. Pertama, singkatan “KLP” dan pemilihan warna hijau sebagai warna tema grup. Banyak yang langsung mengaitkan grup ini dengan makanan tradisional Jawa dari ketan berisi gula merah cair yang kalau ditekan meledak di mulut: klepon (katanya di Malaysia juga ada makanan seperti klepon ini, tapi aku nggak tau namanya). Menurutku ini memang lucu.

Tapi opini tiba-tiba merembet ketika beberapa warganet Indonesia menerka apa jadinya lagu-lagu Keluarga 48 diterjemahkan ke Bahasa Melayu. Misalnya salah satu lirik Seventeen yang sembarang diterjemahkan jadi “saya dengar awak dah kahwin, saya lambat beritahu saya suka awak”. Lalu judul lagu “Teacher Teacher” jadi “Cikgu Cikgu”. Aku paham sih ini memang lawak aja, cuma apa warganet lupa kalau ragam Bahasa Melayu yang dipakai untuk lirik lagu itu hampir sama persis dengan Bahasa Indonesia?

“Aku Pikir Ini Lagu Indo” (?)

Terutama sebelum Upin Ipin ada, kayaknya kita lumayan sering mengira lagu-lagu Malaysia sebagai lagu Indonesia. Misalnya di tahun 2000-an, “Cindai” karya Siti Nurhaliza lagi naik-naiknya. “Cindai” memang masih kental unsur Melayu-nya sih. Lalu di akhir tahun 2010-an, lagu “Berlayar Tak Bertepian” (judul aslinya “Sepi Sekuntum Mawar Merah”) banyak di-cover oleh penyanyi dangdut, terutama Yeni Inka. Lagu ini, versi dangdutnya tepatnya, lumayan viral di TikTok Indonesia.

dari blog ella the one and only

Menurutku “Berlayar Tak Bertepian” itu bagus, jadi aku Googling. Ternyata lagu ini adalah lagu slow rock Malaysia tahun 90-an yang dinyanyikan oleh Ella, yang dikenal sebagai ratu rock-nya Malaysia. Memang di tahun 80-an akhir sampai 90-an didominasi oleh lady rocker; Indonesia punya Nike Ardilla dan Anggun. Versi original lagu ini memang tidak seramai dan sehidup versi Yeni Inka, tapi aku takjub dengan betapa tingginya suara Ella. Kelihatannya sampai sekarang ada beberapa orang, baik penggemar lama atau orang yang baru menemukannya di medsos, yang akhirnya menyukai hampir semua repertoar Ella. Waktu aku ke Jogja naik travel, supir menyetelkan playlist lagu-lagu Ella. Sepanjang jalan aku membatin suaranya yang tinggi dan menusuk khas rocker.

TikTok memang ampuh untuk urusan memperkenalkan lagu dari daerah yang jarang dikenal atau luar negeri. Waktu pandemi, “Casablanca” karya Nuha Bahrin dengan Naufal Azrin juga viral. Lebaran 2024 ini juga dibanjiri dengan konten berlagu “Ketipak Ketipung Raya”. Dua lagu ini memang lebih masuk seleraku daripada lagu-lagu pop Indonesia sekarang. Aku juga kurang tahu apakah warganet memviralkan lagu ini karena memang suka atau semata karena lagunya trending sehingga perlu dipakai supaya kontennya ikut naik juga.

Memang selama ini aku melihat warganet Indonesia tidak bikin masalah soal lagu Malaysia yang trending. Pemikiran soal “loh ini ternyata bukan lagu Indo ya?” toh juga lebih ke pribadi saja, tidak sering diungkapkan di medsos. Tapi kalau mereka cukup familiar dengan lagu Malaysia, bukankah aneh rasanya ketika mereka melawak soal terjemahan asal di kasus KLP48 tadi? Maaf ya warga Malaysia, tapi terjemahan ngawur itu seolah-olah bikin KLP48 jadi seperti masuk ke Upin Ipin Universe.

Tapi bicara soal terjemahan, menurutku Malaysia lebih baik daripada Indonesia, terutama soal lagu Disney.

Lagu Disney Malaysia > Disney Indonesia

Kalau kalian cek video-video lagu Disney dalam berbagai bahasa (biasanya di judulnya ada keterangan “in x languages” atau “multi language”), Bahasa Melayu lebih sering masuk daripada Bahasa Indonesia. Aku pertama kali berkenalan dengan lagu Disney Bahasa Melayu dari video lagu “Let It Go” versi multi-language ini. Kemudian aku mendengarkan Let It Go Bahasa Melayu; menurutku terjemahannya bagus, meski tentu saja ada beberapa kata-kata yang tidak familiar buatku. “Bebaskan”, buatku itu terjemahan yang pas untuk frase “Let It Go”.

Sementara itu Disney Indonesia membuat terjemahan sendiri dengan judul “Lepaskan” yang dinyanyikan oleh Anggun, Regina, Cindy Bernadette, Nowela, dan Chilla Kiana. Memang para penyanyi Indonesia teknik vokalnya lebih bagus. Tapi maaf, cukup sekali saja aku mendengarkan versi Indonesia ini. Disney Malaysia lebih bagus.

Sejak saat itu, kalau Disney merilis lagu tema dalam beberapa bahasa, yang lebih banyak kucari adalah Bahasa Melayu. Terjemahan Bahasa Melayu “How Far I’ll Go” dan “We Don’t Talk About Bruno” jauh lebih bagus daripada Bahasa Indonesia.

Menurut kalian lebih bagus “Lihatlah ufuk yang menyeru namaku” atau “Horizon seakan memanggil diriku”? Aku sih lebih suka yang pertama.

Terjemahan Bahasa Melayu berhasil mempertahankan frase “no, no, no” di kalimat “We don’t talk about Bruno, no, no, no.” Frase itu tidak ada di Bahasa Indonesia karena begitu panjang.

Aku paham kalau menerjemahkan lagu memang tidak bisa sembarangan. Sempat ada obrolan bahwa terjemahan Bahasa Indonesia memang kaku karena ada permintaan dari Disney untuk menerjemahkan dengan arti yang semirip mungkin dengan bahasa aslinya, jadi yang dipakai adalah terjemahan harfiah. Tapi Disney Malaysia bisa melakukannya dengan terjemahan bebas. Di Let It Go misalnya, ada frase seperti “membuat sejarah baru” yang tidak ada di lirik aslinya.

Belajar Sama Tetangga

Memang dalam beberapa hal, Indonesia dan Malaysia suka “rebutan” budaya, apalagi soal klaim-klaiman. Soal ini, aku lebih pro negaraku sendiri. Tapi bukan berarti kita tidak belajar dari negara tetangga dan selalu menganggap semua karya pop mereka adalah Upin Ipin Universe.

Misalnya soal Disney. Kenapa Disney Indonesia tidak bisa pakai terjemahan bebas? Bukannya dalam terjemahan lagu lebih penting mempertahankan makna daripada diksinya? Kenapa Disney Malaysia sedangkan Disney Indonesia tidak? Sama seperti masalah kita tidak dapat jatah konser Coldplay dan Taylor Swift sebanyak Singapura, memangnya kita tidak punya daya tawar untuk meyakinkan Disney pusat?

Kemudian soal lagu lebaran. Dua tahun terakhir, banyak pembicaraan soal menurunnya tren dan penjualan lagu-lagu religi di Indonesia. Biasanya di Bulan Ramadhan, lagu-lagu pop religi Muslim merajai, terutama di tahun 2000-an sampai awal dekade 2010-an. Setelah itu, lagu religi tidak se-hype dulu. Lagu yang banyak diputar justru adalah lagu-lagu lama yang rilis di dekade 2000-an itu, seperti “Rindu Muhammadku”. Kalau kita lihat di negara sebelah, hampir setiap tahun lagu religi mereka trending.

Mari kita tengok lagu religi, atau tepatnya lagu lebaran Malaysia. Alih-alih hanya doa pujian atau sebatas lirik yang menggurui, beberapa lagu lebaran Malaysia lebih “bercerita”. Mereka mendeskripsikan kegiatan mereka menjelang lebaran seperti mudik, beli baju baru, menyiapkan makanan, uang THR, dan sebagainya. Ada yang menyambutnya dengan semangat suka cita, ada yang haru dan rindu kampung halaman, ada juga yang panik karena persiapan lebarannya kacau.

Aku kurang paham apakah “lagu raya” ini masuk lagu religi, tapi menurutku ini masih masuk karena terkait hari raya keagamaan. Mungkin kalau dibuat bercerita seperti lagu lebaran Malaysia, pasti pendengar tidak akan bosan. Sebagian besar lagu-lagu pop religi Indonesia memang terkesan menggurui dan menasihati kalau ini benar dan ini salah, atau kalau tidak melakukan x maka akan kena y. Memang tidak salah, tapi sebagai pendengar, tentu lama-lama mereka akan bosan. Sudah mengikuti ceramah, melihat-lihat konten religi, pasti bosan dan butuh perspektif yang lebih realistis. Cerita lebaran ala lagu-lagu raya itu jadi terasa segar dan mudah diterima pendengar awam.

Lagi-lagi aku tidak tahu ini masuk lagu religi atau tidak, tapi setidaknya ada satu lagu tentang agama yang “bercerita” di negara kita. Aku cukup suka lagunya, mungkin bisa ditonton lagu ini:

Buat yang tidak tahu Bahasa Jawa, “Santri Pekok” adalah lagu tentang seorang preman yang jatuh cinta pada seorang santriwati. Ia bertamu menemui ayah sang santriwati dan mencoba membuat kesan baik dengan memakai sarung dan songkok, serta menahan diri tidak merokok. Sang ayah merasa curiga. Rupanya ia lupa melepas anting-antingnya. Ayah tersebut lantas menyebut si preman “santri pekok” alias santri bodoh. Si preman pun memutuskan memperbaiki hidupnya supaya dapat pasangan yang beriman.

Kira-kira itu saja yang aku tahu dan rasakan soal lagu Malaysia. Memang dalam beberapa hal kita unggul; dangdut kita masih bisa trending di sana. Sementara itu, mereka juga punya cara penulisan lagu yang unik juga. Mungkin ini bisa memacu kreativitas kita buat bikin lagu yang berbeda dan jadi pertimbangan juga soal tren lagu. Sekali-kali kita tidak usahlah bermusuhan sama negara tetangga, apalagi soal musik.

--

--