Review Charlotte Church: Voice of An Angel

Florentina Krisanti
5 min readMar 20, 2024

Voice of An Angel adalah album debut Charlotte Church di belantika musik klasik. Saat album ini dirilis, umur Charlotte baru 12 tahun. Mungkin karena umurnya yang masih belia untuk industri musik, sebagian besar lagu-lagunya adalah lagu rohani Kristen, lagu rakyat, “musikalisasi puisi”, dan lullaby alias lagu nina bobo. Buat para penikmat musik klasik, album ini lumayan segar karena sebenarnya mayoritas lagu-lagu vokal klasik, baik itu aria opera atau lied, temanya romansa yang cukup “dewasa”.

Fair use, https://en.wikipedia.org/w/index.php?curid=5547914

Album ini udah nggak banyak dibicarakan di dekade 2020 ini, tapi ketika Voice of An Angel dirilis di tahun 1998, album ini meledak di pasaran, bahkan pernah bertengger di nomor 1 album klasik top Billboard. Kebetulan album ini juga dijual di Indonesia dan lumayan laris juga, sampai-sampai waktu Gita Gutawa pertama kali debut dengan musik “pop klasik”-nya, Tabloid Bintang sempat membandingkan dia dengan Charlotte.

Aku pertama kali dengar album ini waktu SD. Jadi waktu aku kecil, Bapak memberiku 2 kaset: Dream a Dream yang merupakan lagu natal dan Prelude yang merupakan best album-nya. Voice of An Angel justru aku temukan di laci dashboard mobil, kertasnya udah agak lecek kayaknya gara-gara air AC. Pas dengar albumnya, aku menduga alasan album ini nggak secara langsung diberikan padaku adalah karena lagu-lagunya yang seasing itu, sementara Bapak lebih banyak mendengarkan lagu-lagu klasik yang populer.

Voice of An Angel dibuka dengan “Pie Jesu”, salah satu lagu populer dari komposer drama musikal ternama, Andrew Lloyd Weber. Kemudian dilanjutkan dengan “Panis Angelicus”; kalau kalian orang Katolik, harusnya kalian familiar dengan lagu ini. Setelah dibuka dengan dua lagu populer (di bidangnya ya, soalnya kalo populer secara global dan lintas genre ya nggak juga sih wkwkkw), dilanjutkan dengan “In Trutina” karya Carl Orff. Lagu ini sebenarnya masih satu set dengan lagu “O Fortuna” yang sering banget dipake buat soundtrack iklan dan film yang super dramatis, tapi “In Trutina” ini super kalem dan singkat, jadi rasanya bisa di-skip kalo kelewat ngantuk.

Repertoar album ini dilanjutkan dengan lagu rohani lagi, “The Lord’s Prayer”. The Lord’s Prayer alias Bapa Kami ini pengen banget aku bawain ke Indonesia, tapi melodinya linier dan lumayan ruwet buat dinyanyiin padus dan solis gereja Katolik Indonesia, jadi lebih banyak dinyanyiin sama vokalis klasik untuk pentas daripada dipakai buat ibadah. Berikutnya adalah “Jerusalem”, sebuah lied karya Hubert Parry. Lagu ini orkestrasinya lebih rame, lumayan buat bangunin tidur. Secara lirik, lagu ini sebenarnya menyindir revolusi industri di Inggris, tapi karena diciptakan waktu zaman Victoria dan di zaman itu Zionisme lagi tinggi-tingginya, jadi ya… Ini cuma FYI aja biar kalian nggak mengaitkan lagu ini ke perang di sana.

Lagu berikutnya adalah “Ave Maria”, yang dikaitkan dengan Giulio Caccini. Ini lagu keseluruhan liriknya cuma Ave Maria aja, nggak ada terusan doanya sama sekali. Kebetulan, Gita Gutawa juga menyanyikan lagu ini tapi tanpa lirik, jadi di judul track-nya cuma ditulisi judul Vocalizing aja. Jadi paham kenapa penulis Tabloid Bintang sempat bawa-bawa Charlotte ke review albumnya Gita Gutawa waktu itu. Ini lagu super kalem juga, lanjut ke lagu rohani berikutnya Psalm 23.

Sekaligus sebagai penutup dari Side A kasetnya, lagu berikutnya adalah lagu nasional Inggris,” I Vow to Thee, My Country”. Himne ini orkestrasinya megah dan ini salah satu lagu favoritku dari kecil. Aku pribadi merasa efek dari lagu ini tuh kayak kita dengerin lagu kebangsaan Uni Soviet: rasanya terharu dan merasa jadi patriot padahal kita bahkan bukan warga negaranya. Indonesia sebenarnya butuh lagu-lagu yang modelnya lambat tapi megah kayak gini; sejauh ini baru Syukur yang benar-benar cocok di aku. Gugur Bunga terlalu menye-menye, Melati Suci terlalu melankolis.

Lah malah nyasar ke situ. Side B album ini didominasi lagu-lagu rakyat Inggris dan Wales (kebetulan Charlotte orang Wales), dibuka dengan “Danny Boy” yang aransemennya kalem di awal tapi megah di akhir. Siapkan jiwa overproud kalian dengan lagu berikutnya, “My Lagan Love”, yang bait-bait awalnya sangat nJawani. Bahkan waktu kecil aku pernah tanya Bapak apa ini lagu Jawa, tapi dia bilang nggak tahu. Lagu ini cuma diiringi dengan harpa, tapi buatku ini begitu eksotik, seperti seorang sinden nembang diiringi siter. Tapi ingat, ini lagu rakyat Irlandia, jadi tolong jangan dikoploin karena beneran gak bakal cocok.

Berikutnya adalah lagu natal khas Wales, “Suo Gân”. Lagu pertama di album ini yang berbahasa Wales sukses membuatku terheran-heran waktu bocil karena begitu asing dengan bahasanya. Lagu ini sedikit lebih rame daripada track sebelumnya, tapi tetep kalem suasananya karena orkestrasinya dominan tiup kayu. Berikutnya adalah lagu yang baru kufavoritkan waktu aku lebih dewasa, “A Lullaby”. Liriknya beneran tentang nina bobo, tapi komposisinya sangat gelap. Dengerin lagu ini berasa kayak dengerin komposisinya Danny Elfman di film-film Tim Burton. Aku suka aransemennya yang banyak main warna suara, dan bass clarinet yang dominan bikin lagu nina bobo ini makin gelap.

Berikutnya adalah “Amazing Grace”, lagu rohani Kristen populer. Lagu ini iringan musiknya super minim, vokal Charlotte sangat menonjol sampai bisa dikira acapella. Tiga lagu berikutnya adalah musikalisasi puisi dari Three Welsh Bird Song: “Y Gylfinir”, “Tylluanod”, dan “Mae Hiraeth Yn y Môr”. Tiga lagu ini hanya diiringi dengan harpa. Waktu kecil aku suka yang “Mae Hiraeth Yn y Môr”, tapi pas udah gede lebih suka “Tylluanod” karena lebih gelap. Orang gede edgy memang. Terakhir adalah lagu dari opera Hansel and Gretel, “When at Night I Go to Sleep”. Ini lagu nina bobo juga, tapi lebih megah dengan full orkestra dan harmoni vokal karena aslinya ini adalah lagu duet.

Kalau kalian adalah penikmat musik klasik, kalian pasti nemu banyak lagu yang kurang familiar di album ini. Ada Amazing Grace dan Panis Angelicus yang sering jadi lagu rohani waktu ibadah. Pie Jesu, The Lord’s Prayer, Ave Maria, dan Jerusalem kalau suka musik serius. Kalau orangnya Anglophile abis pasti tahu I Vow to Thee, My Country. Pokoknya seperti di awal, banyak lagu yang asing untuk kuping orang Indonesia.

Tapi secara keseluruhan, vokal Charlotte menonjol. Mungkin ini maksudnya kenapa pemilihan lagunya seperti itu, yaitu supaya kita fokus ke keindahan vokalnya Charlotte. Aku gak bisa komen banyak soal teknik karena aku bukan penyanyi klasik, tapi di video live-nya Charlotte banyak pake teknik yang… itu, yang rahangnya sampe naik turun buat ngeluarin suara vibratonya, maaf gak tau itu namanya apa. Konon katanya sih justru itu teknik yang dihindari di vokal klasik, iya kah?

Kalau di kepala kalian orkestra adalah sesuatu yang epik, megah, rame, dan luar biasa; buang jauh-jauh saat mendengar lagu ini karena orkestrasinya yang begitu kalem dan kalau kalian tidak terbiasa bisa menyebabkan kantuk. Tapi justru aku suka yang kayak gini. Orkestrasi itu sebenarnya lebih ke masalah main warna suara dari masing-masing alat musiknya, tapi sering kali di benak orang Indonesia orkestra itu adalah sesuatu yang “gede”, padahal gak juga.

Voice of The Angel bisa dibilang sebagai salah satu album yang “menambah wawasan”. Album ini lumayan gambling untuk dirilis sebagai album debut, karena materinya nggak banyak yang familiar untuk orang Indonesia. Tapi mungkin cukup mudah diterima buat orang Inggris sampai bisa bertengger tinggi di tangga lagu klasik, dan biasanya kalau sudah tinggi di Inggris, di negara lain bisa ikut terkenal juga. Setelah album ini, jujur aku belum banyak nemu rilisan klasik yang pilihan lagu dan aransemennya seajaib ini. Minimal kalau kalian perlu lagu pengantar tidur (ini aku beneran nggak menghina karena aransemen lagu ini benar-benar punya suasana khas fantasi, jadi ya cocoknya buat nina bobo) yang beda dari yang lain, silakan dengar album ini.

--

--