Review Don’t Read This! Catatan Melodic Punk Bandung dari Masa ke Masa

Banjir informasi, ending tanda tanya

Florentina Krisanti
6 min readJul 24, 2023

Sekitar bulan April 2023, tiba-tiba aku pengen beli banyak buku musik populer. Nggak tau kenapa tiba-tiba muncul ide ini, dan setelah berselancar di gugel ternyata banyak buku yang tidak dicetak ulang. Bahkan yang baru terbit tahun lalu kayak Don’t Read This! Catatan Melodic Punk Bandung dari Masa ke Masa ternyata susah banget dicari, itupun di pasar daring hanya ada 1 toko yang menjualnya dan itupun lagi tinggal 1 biji. Hanya sekadar karena prinsip kelangkaan itulah aku memutuskan untuk membeli buku ini. Gara-gara prinsip ini jugalah aku beli buku Industri Musik yang Menjajah (besok bakal aku review) yang dicetak dan dijual dengan cara benar-benar indie, kalo udah habis kecil kemungkinannya untuk dicetak ulang.

buku milik sendiri

Kesan pertamaku saat membuka buku ini adalah salut pada desainer dan layouter-nya. Buku ini sangat estetik; desain sampulnya seperti buatan tangan dan penempatan headline serta foto arsipnya enak banget. Ada beberapa halaman warna hijau neon di dalam buku yang bikin buku ini lebih segar; ada beberapa halaman yang latar belakangnya hitam tapi teksnya putih, wah luar biasa percetakannya mau menggarap buku yang boros tinta ini. Kalau kalian nggak suka baca, aku jamin buku ini tidak membosankan karena begitu banyaknya foto arsip yang bisa dilihat-lihat, mulai dari yang sangat penting seperti foto band pada masa-masa muda mereka sampai yang kurang penting seperti foto bon toko.

Buku ini juga dibuka dengan baik sekali karena diawali dengan pembahasan genre melodic punk: ciri khas musiknya seperti apa, sejarah kemunculannya bagaimana, band-band pentolannya apa aja, dan bagaimana genre ini masuk ke Indonesia. Nggak banyak orang yang tahu soal ini dan nggak semua pembaca berlatar belakang anak skena, jadi bab awal ini dasar yang bagus untuk mengerti bab-bab selanjutnya. Deskripsi musiknya menurutku sudah cukup musikal; nggak terlalu mengawang-awang atau mengarah ke “gua bingung jelasinnya, jadi daripada lu gak nangkep ya udah lu dengerin aja lagu A,B,C dst”; which is kalau seorang penulis melakukan itu baiknya dihantam buku hardcover aja karena ngapain jadi penulis kalau nggak bisa membuat deskripsi jelas (tapi ya musik barang gaib sih ya, indigo aja jelasin hantu bisa beda-beda antara 1 orang dengan orang lain. That’s why you need to understand basic music theory, tapi yaaah stop sampai di sini).

Bab-bab selanjutnya membahas perkembangan skena melodic punk di Bandung secara kronologis. Penulisnya membagi dalam tiga fase, yaitu era formatif, era gemilang, dan era dubius. Sesuai namanya, era formatif membahas bagaimana awal mula skena ini berkembang, lalu era gemilang adalah puncak kejayaan dari skena ini, dan terakhir era dubius adalah ketika skena ini pelan-pelan surut. Tiap era memiliki band pentolan masing-masing, dan di masing-masing era para pentolan ini diwawancarai baik oleh penulis sendiri maupun diambil dari arsip-arsip majalah, jadi keduanya bisa saling melengkapi dan infonya sangat dalam. Selain para pentolan, penulis juga merekomendasikan beberapa band dari tiap era yang nggak sekuat band pentolan, tapi juga nggak kalah unik dan menonjol, jadi bisa dibilang tiap era nggak “dimiliki” oleh 1–2 band dan beberapa band kecil bisa dapat sedikit apresiasi.

Cuma begitu sampai bagian akhir, wuuuuttttt….. kaset rusak.

Pas aku sampai bagian akhir buku ini, aku merasa hampa. Jadi begini, kan aku bukan anak skena ya, apalagi skena punk Bandung. Aku cuma seorang penikmat musik introvert banyak omong hobi rebahan jadi tidak memenuhi syarat untuk eksis di skena. Sori agak OOT, cuma maksudku kan aku baca buku ini minim ekspektasi dan bayangan mengenai skena. Sebagai pembaca awam, rasanya wajar kalau setelah baca sejauh ini aku bertanya, “apa sih gunanya aku ngerti sejarah skena melodic punk Bandung ini?” Buku ini hanya diakhiri dengan “polemik melodic punk” yang sebenarnya kalau dibaca-dipikir lagi, hanya sekadar bikin keributan tapi tidak sampai menggoyahkan struktur sebuah skena. Nggak ada event fundamental kayak, misalnya ada seorang abang-abangan yang ngomong “Melodic punk itu banci!” dan setelah itu skena ini mati selama-lamanya…. nggak, nggak gitu juga. Polemik yang dimaksudkan di buku ini juga aku yakin pasti juga ada di skena lainnya, jadi ya nggak unik-unik khas melodic punk Bandung juga.

Kronik melodic punk yang terhenti cuma sampai di tahun 2008 ini juga menggantung ya. Apa melodic punk benar-benar mati? Emang di tahun 2009–2022 benar-benar nggak ada apa-apa? Memang di bagian akhir penulisnya sudah menerangkan alasan kemundurannya adalah karena munculnya genre baru dan selera pendengar yang berubah. Terus… gitu doang? No final statement dari band-band yang dibahas mengenai situasi sekarang? Nggak ada uneg-uneg atau harapan mereka soal itu? Mengingat tren berjalan seperti roda, nggak ada prediksi ke depan? Apa sama sekali nggak ada usaha yang dilakukan para scenester-nya untuk membangkitkan kembali “genre mati” ini di tahun 2009–2022? Mengingat aku bukan scenester punk, buku ini berakhir dengan menggantung dan menyebalkan, dan mana bagian akhirnya tipis lagi.

Pendek kata, buku ini banjir informasi, tapi kurang bisa memberikan konteks jelas bagi pembaca awam kenapa skena melodic punk Bandung ini layak mendapat perhatian. Ada begitu banyak deskripsi dan foto, tapi tidak diakhiri dengan simpulan mengenai apa yang membuat skena ini begitu istimewa, atau hubungan konteks sejarah skena ini dengan situasi zaman sekarang. Apa dampaknya masyarakat harus tau skena ini? Memang dituliskan karena skena ini sering dipakai untuk wadah pencarian jati diri, tapi apa bedanya wadah ini dengan wadah tetangga sebelah? Eksperimentasi musiknya kah? Pasarnya kah? Aktivisme skenanya kah? Bisa juga sebenarnya dengan sentimental pribadi penulisnya kalau ini berkembang dari masa kecilnya, jadi tempat senang-senangnya waktu remaja, dan terutama kalau skena ini bisa memberi beberapa Rupiah untuknya; kamu bisa hidup dari skena. Jadi kalau ada orang edgy yang merasa skena itu cuma sekadar kumpulan abang-abangan, tinggal sodorkan saja buku ini.

Sedikit OOT, kebetulan aku pernah jadi volunteer di komunitas Radio Buku di tahun 2021. Kami harus menulis esai dengan tema menghidupkan arsip. Jadi kami baca berbagai majalah dan koran bekas, menemukan sesuatu yang menarik di situ, lalu dari arsip menarik itu mengaitkannya dengan konteks zaman sekarang. Bukan sebaliknya, maksudnya ada event apa di zaman sekarang terus dicek di arsip kalau ada kejadian serupa, bukan begitu. Hasilnya menarik; ada yang bicara tentang perkembangan suatu media atau karya dari dulu sampai sekarang, berbagai pendapat figur publik atau penulis yang sudah tidak relevan tapi masih diamini di zaman sekarang, hingga masalah dari zaman dulu yang bahkan belum selesai di zaman sekarang.

Nah, konteks seperti inilah yang sebaiknya perlu ada di buku-buku skena; bukan cuma sekadar mengabadikan nostalgia sebelum ada internet sehingga terasa kurang nyambung dengan generasi yang kecanduan internet, harus ada jembatan di tengah-tengahnya. Jembatan itulah yang bisa jadi sentuhan pribadi penulis; atau kalau penulis merasa kurang obyektif untuk membuatnya, bisa bekerja sama dengan orang lain yang lebih kredibel. Kebetulan waktu acara LiRamadhan 2021 aku pernah ngobrol dengan Mas Kikie Pea mengenai skena; waktu itu dia getol banget bicara soal dokumentasi skena karena dia punya program Rekam Skena. Menariknya, dia ternyata mau kerja sama dengan Art Music Today kalau perlu; dia yang bikin dokumentasinya, anak AMT yang bantu nulis pembahasannya. Nah, yang begini yang bikin dokumentasi bukan sekadar buku warna-warni yang sekali dibaca habis sudah selesai seperti baca koran, yang terjadi di Don’t Read This!

Tapi di kata pengantarnya penulisnya juga nggak punya ekspektasi khusus juga sih, nggak bikin “make melodic punk great again” atau berharap secara spesifik untuk pembaca atau pelaku skena terkait. Kalaupun berdasarkan nostalgia, ya masih nostalgia pribadi ya, bukan nostalgia dari para pentolan skena yang kemudian diusahakan oleh si penulis. Aku jadi kurang merasakan motivasi kenapa buku ini dibuat selain karena pertimbangan untuk dokumentasi semata. Baca buku ini tuh kayak nonton orang-orang yang asik sendiri di kejauhan sana. Jadi ya balik lagi, so what gitu loh.

Oke itu dulu aja review buku musik kali ini. Ngomong-ngomong, kalian ada buku musik yang pengen aku bacotin? Monggo bisa tulis di kolom komentar dan kalau sempat bakalan aku garap. Makasih!

--

--