Review Industri Musik yang Menjajah

wah boleh lah

Florentina Krisanti
4 min readSep 28, 2023

Barangkali dari sekian buku musik populer, buku ini termasuk yang rada random. Gambarnya jeruk doang tapi di dalamnya gak ada penjelasan ada apa dengan si jeruk, dan isu yang dibawakan buku ini juga sangat beragam meskipun tetap ada payungnya, yaitu… ya liat aja judulnya. Buku ini memang hanya kumpulan esai, tapi si penulis memutuskan untuk tidak pakai judul “kumpulan tulisan dari tahun x sampai y”. Boleh juga. Sekadar FYI, Galih Nugraha Su selaku penulis buku ini juga banyak menulis tentang isu lain seperti pendidikan, jadi dalam buku ini banyak banget sub-topik dalam industri musik yang dia angkat.

Punya buku ini juga agak berdrama sebenarnya. Jadi aku beli buku ini bulan Maret kemarin. Sialnya, sebelum wisuda ternyata ada persyaratan harus menyumbang buku untuk perpustakaan. Koleksi bukuku nggak ada yang bisa “dibuang”, jadi dengan sangat terpaksa aku menyumbang buku oren ini dan beli yang baru. Alhamdulilah-nya aku bisa dapat buku ini dari salah satu reseller; mengingat Don’t Read This belum cetak ulang dan susah banget nyari bukunya, entah kenapa lega rasanya bisa dapat buku ini lagi.

bye bye, baik-baik di sana ya

Industri Musik yang Menjajah mengulas beberapa tema dalam industri musik. Bab satu isinya tentang pengalaman pribadi penulis saat mengenal musik sejak kecil. Kemudian ada bahasan soal skena dangdut, kesehatan mental musisi, perempuan dalam musik, NFT, proyek pribadi penulis mengenai salah satu puisinya Chairil Anwar, skena punk, snobisme dalam musik, dan terakhir ditutup dengan pas lewat topik para musisi yang meninggal dengan tragis. Diawali dengan masa kecil dan diakhiri dengan kematian, menarik. Bahasan topiknya gak terlalu berat dan masih ringan buat dibaca. Btw soal NFT mungkin kita bisa kalem sejenak karena berita terbaru katanya 90% NFT udah nggak ada harganya, jadi bahasan soal NFT di buku ini dibawa tenang aja dulu.

Sebenarnya secara emosional aku nggak merasa buku ini wow banget karena buatku sih gak ada yang isu baru banget. Namun, nggak banyak buku yang mencoba membahas isu-isu dalam industri musik secara holistik. Banyak tulisan yang bicara soal kisah seorang musisi, proses kreatif, dan hal-hal yang keren; tapi belum banyak yang bicara mengenai sistem industri musik Indonesia yang perlu diperhatikan. Makanya buatku pribadi aku lebih merasa ini bukan buku yang “keren banget sehingga wajib dibaca kalau kalian suka musik”, tapi lebih ke “ini kita ada masalah nih, terus enaknya mesti gimana?”. Ini juga yang bikin aku pengen punya buku ini sekaligus memutuskan untuk menyumbangkannya ke perpus kampus, apalagi juga belum ada rencana dari penulis untuk cetak ulang.

Aku nggak merasa ini kekurangan yang signifikan banget, tapi buatku penulis masih belum menemukan kalau biang kerok lain dari masalah kapitalisme industri musik ini adalah soal data sebagai komoditi. Keberhasilan industri musik sekarang tidak hanya dilihat dari besarnya perputaran uang, tapi juga seberapa besar akses mereka terhadap data. Banyak musisi yang berasal dari label indie tapi popularitasnya setara dengan musisi label mayor. Salah satunya cara untuk menyalip para pemain besar ini adalah dengan mengakses situs analitik musik. Analitik ini penting supaya seorang musisi bisa melihat demand pendengarnya, jadi bisa membuat konten dan karya sesuai dengan kondisi pendengarnya.

Media sosial seperti Instagram, platform video seperti YouTube dan TikTok, dan digital service provider (DSP) seperti Joox dan Spotify bisa memberikan analitik (istilah umumnya ya statistik, tapi industri musik menyebutnya analitik, jadi gak usah debat ya) mengenai aktivitas pribadi musisi dan data para pengikutnya. Misalnya musisi rock A sebagian besar pengikutnya adalah laki-laki, rentang usianya sekitar 25–35 tahun, dan paling banyak berasal dari kota X. Namun, analitik “gratisan” yang diberikan ini cuma menyajikan data dari akun pribadi musisi. Emang bisa kalau mau lihat data milik musisi kompetitor? Bisa dong, makanya ada situs analitik musik. Situs analitik seperti Chartmetric dan Viberate menawarkan akses ke analitik milik musisi lain dan bisa dibandingkan dengan data milik pribadi atau data musisi yang lainnya lagi. Ada juga fitur yang memunculkan prospek seorang musisi bagus atau tidak dilihat dari analitiknya. Nah, masalahnya website ini tidak gratis bos, harus bayar dengan paket-paket yang bisa disesuaikan bujet.

Kalau melihat fenomena kayak gini, buatku ide yang ditawarkan oleh penulis mengenai koperasi rasanya rada utopis. Entah kenapa rasanya percuma udah punya modal cukup, silaturahmi yang sangat erat, dan sistem yang bagus tapi ternyata nggak tau apa-apa soal informasi di luar sana. Gimana caranya mau desentralisasi distribusi tanpa tahu kondisi pasar? Apa cukup dibiarin “sendiri-sendiri” aja kayak pulau-pulau Indonesia? Bahkan dangdut, yang bisa dibilang berkembang dengan sistem yang “paling merakyat”, aku yakin musisinya sekarang sudah sedikit bergantung pada analitik, minimal yang milik pribadi.

Kalau mau berhasil, paling tidak harus mau menyelami analitik lebih dalam. Paling kalo mau keukeuh dengan sistem koperasi ya industri musik level UMKM bakalan jadi kayak masak sendiri terus dimakan sendiri juga, nge-punk lah. Senyawa sudah mencoba dengan bikin lapak Senyawa Mandiri untuk jual merchandise (plus jamu) dan membuat website sendiri untuk mendengarkan lagu-lagunya daripada numpang DSP, cuma rasanya sistem ini masih belum banyak didengar dan perkembangannya belum ada kabar lagi. Ya seniman sih terserah lah ya wkwkwk.

Oke sekian review buku musik populer dariku yang entah ke berapa. Habis ini bakal review majalah, bosan kan baca buku terus. Sampai ketemu!

--

--